my fairy tale

Jumat, 14 Mei 2010

Christmas Eve

Damian di sampingnya terlihat sibuk sendiri dengan posisi nya yang sekarang. Sampai-sampai kepala anak itu mengenai lengan Emmy yang terasa nyeri tadi. "Aduh," gadis itu langsung mengamankan tangannya jauh-jauh dari Damian, bisa-bisa sakitnya malah tambah parah kalau terus-terusan tergencet. Emmy yang sedari tadi belum berhasil membuka pintu, mengikuti jejak Damian, melepaskan sabuk pengaman. Namun ia melakukannya dengan hati-hati, tidak ingin terjatuh dalam posisi aneh seperti Damian tadi. Ketika Damian menyuruhnya lari, gadis itu rasanya ingin tertawa. Tentu saja mereka hanya bisa lari karena tidak diizinkan memakai sihir meski mereka adalah penyihir.

BRAKK!!!

Bersamaan dengan tendangan Damian pada pintu mobil, pintu di samping Emmy pun terbuka lebar karena tendangannya juga. Namun bedanya pintu itu terbuka dengan selamat, tidak rusak seperti nasib pintu di samping Damian. Emmy juga bisa merasa bahwa werewolf tadi sudah berada jauh dari mobil mereka, benar-benar saat yang bagus untuk keluar dari mobil. Tetapi yang jadi masalah adalah bagaimana jika ketika ia berlari, werewolf itu malah mengikuti mereka dan menyerangnya. Untuk apa guna tongkat sihir? Mencolok mata nya? Ujung mata Emmy menangkap sebuah benda usang yang tadi terjatuh ketika mobil terbalik. Diraihnya tas coklatnya dan ia peluk sebelum keluar dari dalam mobil. Sungguh--ia tidak pernah sedikitpun mengira bahwa ia akan bertemu dengan serigala jadi-jadian secara langsung seperti ini.

"Dengar, kuharap kau memakai sesuatu dari perak, karena itu katanya bisa menghalau warewolf, atau semacamnya. Dan setelah aku keluar dari mobil ini, berusahalah untuk keluar juga, kemudian larilah sejauh mungkin. Jangan bertindak sok heroik untuk melawannya, karena kau akan mati sia-sia. Tapi kalau pada akhirnya kau tertangkap, usahakan jangan tergigit olehnya, dia punya bisa. Jika tergigit, lebih baik kau bunuh dirimu sendiri."

"Perak?"

Gadis itu melirik tas yang berada di dalam pelukannya. Ia memang tidak sedang memakai apapun yang mempunyai unsur perak, tetapi di dalam tasnya ada sesuatu yang terbuat dari perak. Jepitan rambut yang diberi oleh Damian waktu itu. Tidak, tentu saja Emmy tidak akan memakai jepitan itu. Beresiko hilang jika ia berlari-larian dengan memakai perak, biar saja tersimpan di dalam tasnya, siapa tahu dengan cara itupun serigala tersebut tidak akan datang menghampirinya. Setelah Damian mengambil sebuah belati perak dan keluar dari mobil, Emmy menyembulkan tubuhnya keluar dari mobil juga. Namun ketika melihat salju, rasanya ia ingin melakukan sesuatu yang menyenangkan. Ia tahu ia sedang dalam bahaya, tetapi setidaknya ia ingin bersenang-senang juga. Jadi meski ia mati sekarang, ia tak akan menyesal.

Gadis itu menggulingkan diri ke salju dari dalam mobil, merasakan sensasi basah dan dingin di sekujur tubuhnya. Ia bahkan bisa merasa bahwa baju nya kini menjadi agak basah. "Hup!" Gadis itu melompat berdiri dan menoleh ke arah Damian berdiri. "Damian, sedang apa disitu?!" panggil Emmy, kaget melihat Damian malah berdiri diam padahal serigala tersebut ada tak jauh dari dirinya.

"Sekarang Emily, lari!"

"Bodoh! Apa yang kau lakukan? Kita lari bersama! Dan kau bilang sendiri kalau jangan bertindak sok heroik!"

Emmy memakai tasnya dan berlari mendekati Damian, berusaha menarik tangannya dan membawanya ikut berlari. Ia tidak ingin pergi sendirian di dalam hutan gelap ini. Emmy takut gelap.

Kamis, 13 Mei 2010

Christmas Eve

"Ingin jawaban jujur atau bohong, hm?"

Entah bagaimana, Damian justru tersenyum mendengar kata-kata si gadis es krim. Meskipun rasa gugup masih memenuhu pikirannya, dan ketakutan merajai tubuhnya, tapi Damian masih bisa menemukan selera humornya saat ini. Damian memilih untuk tak menjawab, dan justru menekan tombol kunci pada sabuk pengamannya, membuat keterburu-buruannya membuahkan kakinya yang semula di atas jatuh mengenai kepalanya dan memberikan posisi yang sangat tidak nyaman. Damian menggrutu, dan menggeser tubuhnya, kepalanya mengenai bagian tubuh si gadis es krim. Entah bagian tubuh yang mana, Damian tak terlalu memperhatikan, sementara akhirnya kakinya jatuh secara sempurna dan berada tepat di depan pintu mobilnya.

"Apa yang harus kita lakukan Damian?"

"Tentu saja lari!" jawab Damian cepat, seakan kenyataan bahwa si gadis es krim tak tahu apa yang harusnya dilakukannya selanjutnya merupakan sebuah kesalahan. Bahwa jawaban dari pertanyaan itu seharusnya sudah jelas, dan tak perlu di pertanyakan seperti itu.

BRAKK!!!

Damian menendang pintu royal royce-nya dengan dua kaki, sekuat tenaga, dan membiarkan pintu itu terlepas dari engselnya, sementara dapat di dengarnya warewolf yang semula berada di atas mobilnya tampak meloncat menjauh, mungkin kaget layaknya seekor binatang. Dan Damian tahu, dia harus memanfaatkan kondisi itu, atau tidak akan ada kondisi lain lagi. Damian bergeser pelan dalam ruangan yang sempit itu, bisa dirasakannya beberapa bagiannya terbentur pada dinding-dinding mobil atau benda-benda lainnya, sementara dari bawah kakinya angin dingin yang menggigit berhembus.

"Dengar, kuharap kau memakai sesuatu dari perak, karena itu katanya bisa menghalau warewolf, atau semacamnya. Dan setelah aku keluar dari mobil ini, berusahalah untuk keluar juga, kemudian larilah sejauh mungkin. Jangan bertindak sok heroik untuk melawannya, karena kau akan mati sia-sia. Tapi kalau pada akhirnya kau tertangkap, usahakan jangan tergigit olehnya, dia punya bisa. Jika tergigit, lebih baik kau bunuh dirimu sendiri."

Tanpa menunggu jawaban si gadis es krim, atau lontaran kata protes yang mungkin keluar dari bibir gadis itu, Damian membuka laci mobil, dan mengeluarkan sebuah belati perak dengan ukiran lambang Harcourt pada gagangnya, dan mengeluarkan tubuhnya perlahan-lahan dari pintu mobil yang dirusaknya, anak laki-laki itupun berdiri tegak disamping mobil mewahnya yang kini terbalik. Tak jauh darinya, seekor werewolf berdiri dengan mulut terbuka, memperlihatkan gigi-giginya yang runcing. Werewolf itu tampak siaga, siap untuk menyerang, Damian jelas tak akan menang melawannya, dan dalam kondisi seperti ini, laripun akan menjadi hal yang mustahil. Tapi Damian harus menghalaunya, setidaknya sampai si gadis es krim punya jarak yang cukup jauh untuk melarikan diri. Dan selama itu, dia harus memikirkan cara untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

"Sekarang Emily, lari!"

Damian membuka sarung belati peraknya, dan bersiaga ketika werewolf itu bersiap menyerangnya.

Label:

Rabu, 12 Mei 2010

Christmas Eve

Terserah Damian mau berkata apa tentang Mr.Alfredo, yang jelas Emmy akan benar-benar mendoakan keselamatan supir nya Damian itu. Ia tahu bahwa kemungkinan selamatnya sangat dikit, namun ia tak bisa mendoakan Mr.Alfredo di makan dengan lahap oleh makhluk itu bukan? Gadis ini menggeleng keras, membuang fikiran jelek dari kepalanya dan berusaha memunculkan beberapa mantra yang bisa membantunya. Mobil masih melaju cepat dan ternyata Damian memang bisa menyetir, kini tak ia pedulikan lagi apakah Damian punya kartu lisensi atau belum. Mereka sedang di serang!


"Kita tak boleh memakai mantra di luar sekolah, Emily."


Shoot!

Gadis ini terdiam sambil masih menggenggam erat tongkat sihirnya yang barusan ia ambil dari tas. Ia lupa bahwa ia dan Damian masih siswa kelas 3 di sekolah dan mereka belum boleh menggunakan sihir di luar sekolah hingga umur 17 tahun. Emmy rasanya ingin mengerang dan menghancurkan peraturan bodoh itu. Gadis ini mulai merasa frustasi. Bagaimana mereka bisa bertahan apabila monster entah apa itu menyerang mereka dan mereka tak boleh menggunakan sihir? Seakan-akan pelajarannya sejak tahun pertama di Hogwarts tak membawa hasil sama sekali. Sia-sia.

Emmy mulai merasa mual karena jantung nya yang bekerja terlalu cepat dan karena otaknya terus memutar adegan-adegan mengerikan yang belum terjadi dan bisa jadi akan terjadi kepada mereka. Dan aksi Damian mendukung seluruh tubuhnya untuk bekerja secara ganas dan membuatnya semakin mual lagi. Pemuda itu menggila dengan stir mobilnya dan setelah sadar, posisi mereka sudah saling berhadapan dengan monster yang tadi mengejar mereka. Emmy menahan nafasnya, "werewolf." Emmy tak bisa berkata apa-apa, gadis ini tak bisa memberi Damian masukan apapun tentang apa yang harus mereka lakukan meski Damian memang tidak memintanya. Ia hanya terdiam, sama seperti Damian dan juga monster itu. Namun Damian tidak diam saja. Ia malah menginjak gas dan melaju kencang ke arah werewolf itu.

"Geez Damian! Apa yang kau--AAH!"

Emmy tahu, ia bisa merasa bahwa mereka kini sedang terbang bersama mobil milik Damian. Menghantap pohon dan jatuh terbalik. Berkali-kali kepala gadis berambut coklat itu terbentur dan ia rasanya benar-benar ingin muntah. Ini adalah mimpi buruk. Ia tidak suka. Mereka dalam keadaan terbalik dan dengan panik gadis ini berusaha melepas sabuk pengamannya. Ingin segera keluar dari dalam mobil yang menekan tubuhnya. Ingin tidur di atas salju dan bernafas lega, meski nanti ia harus akan berlarian demi menghindar dari werewolf gila itu.


"Kau tak apa-apa, Emily?"

"Ingin jawaban jujur atau bohong, hm?"

Gadis itu sedikit kesal dengan pertanyaan Damian meski ia tahu pertanyaan itu berisi harapan bahwa ia baik-baik saja. Dan sebelum ia sempat berfikir lagi, mobil mereka berguncang dan ia bisa mendengar suatu suara yang tidak mengenakan. Rupanya monster itu benar-benar ingin menghabisi mereka. Emmy bisa merasa lengan dan kaki nya nyeri, namun ia berusaha tidak merasakannya dan membuka pintu mobil dengan susah payah.

"Apa yang harus kita lakukan Damian?" Wajah Emmy pucat dan panik

Selasa, 11 Mei 2010

Christmas Eve

"Kencangkan sabuk pengamanmu, Emily."

Damian membanting pintu di sebelahnya, ada rasa gugup yang tak biasa, dan untuk pertama kalinya, dia akan mengendarai royal royce ini tanpa latihan. Bukan masalah dia akan mampu mengendarainya atau tidak, jelas dia sudah bisa menjalankan mobil buatan inggris ini dengan mulus, tapi situasi yang dihadapinya yang membuatnya ragu. Ragu jika mahluk yang diperkirakannya itu mampu dilalui dengan sebuah royal royce. Tapi hanya ini kesempatan yang Damian punya, setidaknya sebelum dia mati sia-sia, seperti Alfredo yng malang. Penyihir yang tak langsung menggunakan sihir.

"Ya tuhan, semoga Mr. Alfredo baik-baik saja, setidaknya biarkan ia hidup,"

Damian menyunggingkan senyum sinisnya, sementara dia telah mendorong perseneling, memasukan gigi, dan menginjak gas. "Dia tak akan hidup Emily, dan sekalipun dia hidup, dia tak akan lagi berguna." dan royal royce itu melaju, memaksa spidometer bergerak cepat menuju angka 120. Damian menatap jalan di depannya dengan dingin, berusaha memfokuskan pandangannya pada kaca depannya yang retak. Dan kemudian, tepat saat itu, saat ketika Damian menatap spionnya, dia menemukan 'mahluk' itu. Berbulu, dan bergigi tajam, berlumur darah yang masih tampak segar di udara yang begitu dingin. Werewolf!

"Locomotor Mortis, petrificus totalus, stupefy, immobulus. Argh! Tidak ada kah mantra perlindungan yang sudah kita pelajari,"

"Kita tak boleh memakai mantra di luar sekolah, Emily."

Dan Damian membanting stirnya ke kanan, melakukan manuver yang tiba-tiba, dan memutar mobilnya. Mahluk yang semula mengejar mereka itu berhenti, tampak kaget dengan gerakan tiba-tiba mangsanya. Damian tersenyum sinis, walau jelas dia masih merasakan kegugupan itu. Tapi dia ingin menang, dan dia tahu dia memiliki ego yang bisa mewujudkan itu. dalam beberapa detik yang panjang, tak satupun dari mereka bergerak, sebelum akhirnya, Damian menginjak gasnya kuat, melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, menuju ke arah monster itu, dan berniat menabraknya, membiarkan wajah kemenangan di lukis nyata meskipun terlalu awal untuknya.

BRAKKK!!!

Dan wajah kemenangan Damian berubah menjadi keterkejutan. Bukan karena kemenangan yang seharusnya didapatkan, tapi justru karena kondisi yang di alaminya. Royal Royce-nya melayang lumayan tinggi beberapa detik di udara, berselingan dengan salju yang turun perlahan, sebelum menabrak pohon pinus dan menjatuhkannya, dengan suara benturan keras, dan keadaan mobil yang terbalik. Manusia serigala itu mampu berfikir cepat, sesuatu yang rasanya aneh di lakukan seorang manusia serigala. Monster itu tak tertabrak seperti rencana Damian semula, justru monster itu melemparkan mobilnya. Dan bersyukurlah ia, bahwa kekuatan monster itu tak sampai menghancurkan dirinya sendiri bersama mobil Royal Roycenya.

Dan Damian sadar, dia tak sedang bertarung sendiri. Wajahnya pucat, menoleh ke seorang gadis di sebelahnya.

"Kau tak apa-apa, Emily?"

BRUKKK!!!

Guncangan besar, menekan dari atas, bagian bawah mobil berderik terinjak, monster itu--kembali.

Label:

Senin, 10 Mei 2010

Christmas Eve

BRAAKKK!!!!


Ya tuhan, apa yang telah terjadi?


Hampir saja Emmy mengucapkan kata-kata kasar yang tak pernah ia ucapkan sebelumnya, namun sering ia dengar dari lontaran teman-teman dan ayah nya. Namun ia refleks menelan kembali kata-kata itu ketika tubuhnya lagi-lagi terhempas ke belakang. Emmy menahan nafasnya ketika ia melihat pemandangan yang amat sangat mengerikan di depan matanya. Wajah Mr. Alfredo menabrak kaca depan mobil dan darah itu mengalir. Emmy dulu bukan gadis yang takut darah, tetapi karena selama 2 tahun belakangan ini ia sudah melihat Zeus berdarah-darah kurang lebih sekitar 4 hingga 5 kali, keberanian gadis ini menjadi sirna. Setiap melihat darah dari luka yang besar, kepalanya menjadi sedikit pusing dan mual.

"Mr. Alfredo--" Emmy memanggil supir Damian dengan terbata, tepat sedetik sebelum orang tua itu menyuruh Damian untuk pergi dari tempat mengerikan ini. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat sesuatu entah apa yang bergerak dengan cepat. Tangan Emmy dengan cepat menyambar sabuk pengamannya dan kembali tersentak ketika melihat Mr.Alfredo tertarik menjauh. "Gawat!" Gadis ini melepas sabuk pengamannya dan tangannya bergerak hendak membuka pintu di sampingnya. Ia mau menghampiri Mr.Alfredo dan menyelamatkannya.

"PINDAH KE DEPAN EMILY!"

"Tapi Mr Alfredo, dia--"

Emmy tak bisa melanjutkan kata-katanya. Matanya menatap nanar ke arah jajaran pohon dan daerah sekitarnya yang gelap. Ia tahu bahwa sesuatu tadi sangat mengerikan dan ia hanya seorang gadis berumur 14 tahun. Bisa dibilang, baru 20 hari setelah ia resmi berumur 14 tahun, tidak jamin bisa menyelamatkan Mr.Alfredo. Tapi tetap saja gadis itu merasa ingin mengejar makhluk itu. Namun ia langsung menyadari bahwa betapa bodohnya jika ia keluar sekarang. Maka ia mengikuti Damian dan duduk di kursi di samping Damian. Ia langsung memakai sabuk pengamannya ketika Damian dengan panik menyuruhnya. Gadis itu melirik Damian yang siap untuk mengendarai mobil. Ia tak akan bertanya memangnya kau bisa menyetir mobil, Damian? Karena ia tahu itu hanya akan menjadi pertanyaan bodoh.

Tunggu," ujar gadis itu dan kembali melepaskan sabuk pengamannya. Ia memutar tubuhnya dan mengambil tas coklatnya yang tergeletak di tempatnya semula. Mengambil tongkat sihirnya dan kembali duduk dengan benar menatap ke kegelapan malam di depan. Ia juga mengancingkan sabuk pengamannya dan memejamkan mata. "Ya tuhan, semoga Mr. Alfredo baik-baik saja, setidaknya biarkan ia hidup," bisiknya.

"Locomotor Mortis, petrificus totalus, stupefy, immobulus. Argh! Tidak ada kah mantra perlindungan yang sudah kita pelajari," gadis kecil ini mengerang kesal. Ia tahu jurus karate nya tidak akan bisa melindungi nya secara penuh jika mereka ikut diserang nanti. Maka gadis ini sibuk mengingat mantra-mantra penyerangan yang telah ia pelajari. Namun kemungkinan berhasilnya juga mungkin kecil, mengingat gadis ini benar-benar lemah dalam mantra.

Christmas Eve

Beberapa detik, dan tak ada suara apapun dari Alfredo, Damian hanya melihat bokong pria tua itu terangkat dalam usahanya menunduk dan mengecek apa yang terjadi, atau 'apa' yang tertabrak. Jujur saja, bahkan Damian tak melihat ada sesuatu yang tertabrak tadi, dia hanya merasakan benturan keras, selebihnya dia sama sekali tak melihat apapun. Si gadis eskrim di sebelahnya menatapnya dengan khawatir, dan menanyakan ke adaannya. Damian mengerling padanya sekilas, sekalian memeriksa keadaan anak perempuan itu yang syukurnya tidak terluka. "Tidak, aku baik-baik saja." ujar Damian datar, dan kembali menatap lurus ke depan, memperhatiakan tubuh Alfredo yang masih tertekuk dan tak bergerak, bahkan yang lebih anehnya, pria tua itu justru sama sekali tak bersuara. Mengingat betapa cerewetnya dia.

“Ada yang tertabrak?”

Damian mencengkram tombol sabuk pengamannya, reflek tubuhnya menjadi waspada, sementara matanya tak lepas memandang jalan kosong di depannya. Dia tahu, akan ada sesuatu, dan itu berbahaya. "Kita akan segara tahu, Em--"

BRAAKKK!!!!

Terhenyak lebih dalam pada tempat duduknya, mata Damian membulat. Sesuatu dengan kekuatan besar menhantam Alfredo tepat ke kaca mobil depan, memberikan efek retakan besar yang berpusat pada wajah pria tua itu yang remuk terbentur kaca. Darah mengalir dari wajah dan kepala Alfredo, menodai kaca yang retak. Damian semakin mencengkram sabuk pengamannya, sementara matanya mampu bersumpah, sesuatu yang sangat cepat bergerak di belakang Alfredo, menghilang di balik kegelapan dengan menyisakan cahaya merah ganjil yang hanya berlangsung dalam bebrapa detik. Dia tahi, ini akan menjadi semakin lebih berbahaya.

"Pe--pergi, Monsieur,"

Dan Alfredo, tertarik menjauh, menghilang dalam kegelapan dengan menyisakan teriakan pilu yang menyayat.

Satu detik, dan Damian tersadar, ini bukan saatnya untuk menunggu.

"PINDAH KE DEPAN EMILY!"

Damian menarik sabuk pengaman yang semula menguncinya, dan dalam gerakan cepat di memindahkan tubuhnya melalui celah sempit antara bangku kemudi dan bangku penumpang, dan mendudukan dirinya ke bangku dimana Alfredo berada beberapa menit lalu. Damian menyalakan wiper, membersihkan darah Alfredo dari kaca mobilnya yang retak, dan tangannya sibuk mengunci sabuk pengamannya. Damian menyentuh stir dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mencengkram perseneling. Dia harus segera keluar dari tempat ini.

"Kencangkan sabuk pengamanmu, Emily."

Dan sesuatu yang misterius itu, melompat dari satu pohon ke pohon lainnya di depannya.

Label:

Christmas Eve

Emmy sedang ada jauh dari rumah nya. Jalan-jalan yang ia lewati sedikitpun tak ada yang ia kenali. Tentu saja karena ini adalah kali pertamanya pergi ke luar negeri. Sebenarnya bisa di bilang ia kabur dari rumah dan berbohong kepada Silver juga Richard serta Beth, merasa sedikit tidak enak karena telah membohongi mereka. Dan—Zeus juga. Tentu saja Emmy berbohong kepada Zeus , tak mungkin gadis ini terang-terangan mengatakan kepadanya kalau ia pergi ke Perancis berdua dengan Damian. Zeus tidak akan mengizinkannya pasti, sama seperti keluarga Claymer yang tak mengizinkannya. Emmy menghela nafas sambil tetap memandang keluar jendela. Merasa bersalah karena berkata akan menginap di rumah seorang teman perempuannya di London.

Padahal kini ia sedang berada di Perancis.

Emmy duduk kaku sambil duduk menciptakan jarak dari Damian yang berada di sebelahnya. Ia entah mengapa merasa tidak enak jika bersikap bebas lagi dengan Damian semenjak Zeus mengikatnya dengan status pacar. Ia sayang Zeus, benar tetapi bahkan hingga sekarang ia masih bingung kenapa manusia itu harus diikat status pacar kalau saling sayang. Tak mengerti mengapa tidak sahabat saja seperti biasa, toh tak ada bedanya bagi Emmy. Ah—itu masalah lain, yang terpenting sekarang ia bukan tipe gadis yang biasa memakai gaun apalagi pergi ke sebuah pesta. Memang benar di rumah Claymer sering mengadakan pesta, tetapi Emmy jarang mau memakai gaun. Ia akan berkeras memakai pakaian biasa (meski tetap pakai rok juga) atau ia memilih pakaian laki-laki. Ia merasa lebih cocok begitu karena imej yang ia pegang dari dulu adalah sebagai seorang gadis tomboy.

Damian yang membawakan dan menyuruh Emmy memakai gaun cantik ini. Ia mau menolak, tetapi seperti biasa Damian tidak mau—tidak bisa di tolak. Jadi satu-satu nya hal yang bisa ia lakukan adalah menerimanya. Damian terlalu baik, beberapa tahun lalu ia pernah memberi Emmy pakaian juga ketika ia kehujanan, lalu jepit rambut, gelang dan kini gaun. Emmy tak memperhatikan percakapan singkat Damian dan supirnya, ia sibuk memandangi jalan asing yang tertumpuk oleh salju-salju putih. Emmy rasanya ingin keluar saja dari mobil dan bermain di salju. Mood nya akhir-akhir ini sedang tidak baik, seakan-akan banyak hal tak penting yang muncul di otaknya.

"Tidak Alfredo, perhatikan jalanmu."

“Ada ap—aaah!”

Badan Emmy terhentak kedepan, untung saja sedari tadi ia duduk manis dengan seatbelt yang tak lupa ia pasang. Tetap saja perut nya menjadi tidak enak karena hentakan tadi. Gadis itu meringis sambil menggosok-gosok perutnya dan memandang Damian khawatir. “Kau tidak apa-apa?” Supir Damian turun dari mobil untuk memeriksa setelah ia meminta maaf pada Damian. Emmy menegapkan duduk nya, berusaha melihat dari dalam mobil, apa yang menyebabkan mobil mengerem mendadak seperti tadi. “Ada yang tertabrak?” gumam Emmy, bertanya-tanya.

Christmas Eve

24 December 1988
Castle Street at 18:45 pm


Royal Royce, melaju pada kecepatan konstan. Alfredo, duduk tenang di balik kemudinya, sementara Damian hanya menatap lurus-lurus ke depan di belakang pak tua paruh baya itu. Disebelahnya, dia bisa merasakan kehadiran si gadis es krim. Tapi sejak sejam perjalanan mereka, Damian tak juga mengatakan apapun, mulutnya bungkam dalam sikap diam. Damian hanya sesekali memandang jendela di sampingnya, menatap barisan pohon yang gelap tanpa penerangan, atau mengalihkan perhatiannya pada jalanan yang diterangi lampu mobilnya di depan.

Saat ini, mereka sedang tidak berada di Inggris lagi. Itu jelas. Setiap ada kesempatan, Damian ingin menghabiskannya di Prancis. Dan disinilah dia, bersama seorang gadis yang di undangnya untuk datang dan menghadiri sebuah pesta yang diselenggarakan oleh keluarga d'Noir. Jauh di dalam gunung, di sebuah kastil mewah khas keluarga d'Noir. Butuh waktu nyaris empat jam untuk mencapainya, dan bahkan Damian sudah merasa bosan untuk itu. Seandainya, di diijinkn menggunakan apparate, atau setidaknya sapu, dia tidak perlu seperti ini. Layaknya muggle bodoh yang kemana-mana dengan mobil mewah yang berharga. Bukan itu yang diincar Damian, selama ini bahkan dia menginginkan segala hal yang lebih berbau sihir, bukan kemewahan muggle yang memuakan. Dan itu sedikit membuatnya marah!

"Anda lelah, Monsieur?"

Damian tersentak dari lamunan kecilnya, dan memandang pria paruh baya di depannya melalui kaca spion. Alfredo balas memandangnya, ada raut khawatir di wajahnya, dan Damian risih dengan itu. Dilemparkannya pandangannya ke jendela dan yang dilihatnya hanyalah sebaris pohon pinus yang menjulang, menghasilkan ruangan glap di belakangnya yang seakan tak dapat di gapai. Seakan akan menelan meskipun cahaya rembulan terang di puncak kepalanya. Ini sedekit aneh, tapi apa yang diketahuinya tentang hal-hal mistis? Di Hogwarts bahkan tidak mempelajari hal-hal seperti ini secara menditail.

Sekalipun saat ini, dia berhalusinasi melihat pupil merah terang tak lazim yang baru saja hilang dibalik kegelapan yang lain.

"Tidak Alfredo, perhatikan jalanmu."

BRUKKK!!!

Ckittt....

Sontak tubuh Damian terbentur ke depan, dan tertahan pada sabuk pengaman yang melilit tubuhnya. Damian memaki dengan serangkaian bahasa Prancis, dan dari kaca spion, bisa dilihatnya Alfredo tampak pucat. Dengan gemetar membuka sabuk pengamannya sendiri, dan membalikan tubuhnya, menghadap Damian dengan wajah memohon maaf.

"Akan saya periksa, maafkan saya tuan."

Dan Alfredo membuka pintu disamping kemudi, dan keluar dari mobil itu, mengitarinya, dan berdiri di depan mobil.

Label:

Selasa, 09 Maret 2010

Souvenir from Miami (Emmy's side)

Bingung. Emmy bingung.

Kejadian di Big Ben musim panas lalu membuat gadis ini menimbulkan satu penjagaan baru pada dirinya. Ia tak lagi membiarkan dirinya bertingkah dan mengatakan sesuatu seenaknya. Ia sudah mulai menyaring hal-hal yang boleh di lakukan dan tidak boleh di lakukan. Damian telah membuatnya melakukan banyak hal yang biasa nya tak akan atau pantang ia lakukan, salah satu nya adalah menangis. Ia benci menangis karena itu akan menunjukkan kelemahannya. Ayahnya akan suka apabila Emmy menangis dan ia pasti akan mempunyai alasan untuk menyiksa anaknya. Maka dari itu Emmy pantang menangis, takut kelemahannya dimanfaatkan oleh orang lain. Itulah mengapa kakak laki-laki tersayangnya mulai mengusulkan kepada Emmy untuk ikut karate, mempertahankan diri sendiri dari orang-orang jahat seperti ayahnya. Dan ternyata setelah sekian lama tak menangis, air mata itu tumpah lagi.

Untung saja ketika Emmy mengalihkan pandangan dari Damian, pemuda itu juga menarik wajahnya ke belakang, sehingga jarak di antara mereka sudah tak sedekat tadi. Jantung nya masih berdebar-debar dan ia merasakan suatu perasaan baru lagi. Ketika tangannya masih memegang tangan Damian, ia merasa tak ingin melepas tangan Damian. Ia merasa akan amat sangat senang sekali jika diizinkan untuk bersentuhan terus dengan Damian. Disentuh kepalanya, wajahnya, tangannya, di peluk nya--

Stop!

Dan Damian melepaskan pegangan tangan Emmy, membuat gadis itu merasa sedikit kesepian karena tak lagi menyentuhnya. Aneh. Gadis yang masih polos ini seakan-akan di paksa untuk tumbuh menjadi remaja yang seharusnya. Ia benar-benar tak mengerti dengan apa yang sekarang ia rasakan. Satu bagian dirinya mengatakan kepada Emmy untuk tidak begitu saja mengikuti apa kata perasaannya, namun bagian yang lain seakan-akan menuntun Emmy untuk bertindak sesuai apa yang benar-benar diinginkannya. Senyum Damian yang terlihat angkuh membuat gadis ini sedikit berjaga-jaga, takut kejadian yang membuatnya shock waktu itu terulang lagi. Aneh, seharusnya ia benar-benar menjauhi Damian jika tak mau lagi di perlakukan seperti itu, tetapi dirinya malah lebih menginginkan pemuda yang kini berlutut di depan Emmy.

Gadis ini tanpa sadar merapatkan badannya ke dinding dingin di belakangnya. Ia melipat kedua lututnya dan kembali menutup wajah bagian bawahnya dengan majalah tadi. Damian menunduk dan menatap dalama mata Emmy, lagi-lagi hal itu membuat gadis ini tak bisa mengalihkan pandangannya. Debaran jantungnya yang semula sudah semakin tenang, kini kembali panik. Ya--ia panik! Ia bisa merasakan bahwa ia bernafas tidak teratur, sedikit trauma atas perlakuan kasar Damian waktu itu. Ketika tangan Damian kini menempel pada dinding, benar-benar mengunci pergerakan Emmy, gadis itu menunduk sambil memejamkan matanya takut. Mengira Damian akan kembali menyerangnya lagi seperti waktu itu. Ia tak masalah dengan ciumannya, tetapi ia bermasalah dengan sikap aneh nya waktu itu.

Tak bermasalah dengan ciumannya, eh?

"Kenapa tak kau coba untuk memilikiku kalau begitu?"

"Eh?"

Gadis itu kembali membuka matanya dan mendongakan wajahnya, menatap wajah kaku Damian yang selalu disukai oleh Emmy. Bisikannya terdengar sangat jelas namun Emmy tidak bisa mengerti apa maksud kalimat Damian itu. Ia mengerutkan keningnya, kembali menunjukkan ekspresi bingung. Ia kira ia akan di cium tadi, ternyata tidak. Badannya yang tadi menegang, kini sudah lumayan melemas. Dan semakin lama ia menatap Damian dan mencium wangi tubuhnya, ia menjadi semakin lemas. Lagi! Selalu saja ia begini jika sudah bersama Damian. "Bagaimana caranya?" Suaranya terdengar lemas dan satu desahan nafas mengalir bersama kalimat pertanyaannya. Ia benar-benar tak bisa bernafas dengan teratur!

Tangan Emmy terulur dan menyentuh atas dada Damian, berusaha mendorongnya agar tidak terlalu dekat dengan Emmy. Tapi gadis ini yakin, Damian tak akan benar-benar terdorong saking lemas tangannya. Otaknya bekerja keras untuk mencari-cari topik lain untuk di angkat. Namun senyum angkuh Damian membuat Emmy tak bisa melepaskan pandangan dari bibirnya.

Namun ia tiba-tiba mendapat ide dan wajah paniknya berubah menjadi cerah kembali. Matanya memancarkan sinar kepolosan seperti biasa. Dengan semangat tinggi ia berseru kepada Damian, "Damian jadi boneku saja ya! Seperti Calnera yang mau menjadi boneka ku!" kata-katanya di akhri dengan cengiran lebar, seakan tak peduli dengan aura Damian yang berbeda.

Souvenir From Miami!

Telunjuk Damian menyusuri leher si gadis es krim. Gerakan yang terpikirkan begitu saja oleh otaknya. Tanpa pengalaman apapun terlebih dahulu. Hanya terdorong oleh hormon. Wangi waffle tercium dari sela-sela rambut si gadis es krim. Damian tak menyukai makanan manis, tapi dia juga tak membenci bau wafel. Rasanya seperti benar-benar bermain dengan seorang gadis kecil. Tapi benarkah Damian benar-benar berharap gadis di sampingnya itu tak tumbuh? Terus terperangkap dalam pikiran kekanak-kanakannya. Tidak, jelas jawabannya tidak. Karena apa yang dilakukan Damian saat ini adalah proses pengubahan. Dan apakah Damian sadar? Mungkin--tidak.

Seperti yang telah diperkirakannya, si gadis eskrim tak menolak jepitan yang kini tersemat pada rambut coklatnya, sebuah jepitan yang semula milik Fleur itu bukan sengaja disematkannya pada rambut si gadis es krim. Bagaimanapun juga, itu bukanlah bagian dari sebuah kesopanan mengambil brang milik orang lain dan memberikannya kepada orang lain lagi. Tapi jujur saja, hal seperti itu tidaklah terlalu mengusik Damian, karena anak laki-laki itu justru menyukai ketika rambut si gadis es krim yang lebih sering tergerai itu terhias. Mencoba untuk mengubah si gadis es krim menjadi Fleur? Tidak, tentu saja tidak. Fleur bukan tipe gadis yang disukainya, meskipun beberapa bagian dari sisi kehidupan Fleur adalah misteri yang asik di ungkapnya, tapi Fleur jelas tak bisa menjadi teman kencan yang baik bagi Damian. Sementara gadis di sampingnya ini, mungkin tak jauh berbeda, tapi Damian lebih suka berada disampingnya dari pada disamping Fleur yang sulit ditebak. Gadis disampingnya, memberikan kejutan dengan cara yang berbeda dengan Fleur. Dia dengan dunianya, adalah hal yang menarik untuk Damian.

Dan tangan si gadis es krim menahan tangan Damian. Seketika itu juga jari-jari Damian menekuk, menjauh dari tengkuk si gadis es krim. Si gadis es krim mulai tersenyum canggung, dan reaksi itu justru membuat senyum angkuh Damian semakin nyata. Layaknya seorang anak laki-laki, Damian merasa sebuah kemenangan. Kemenangan aneh mengenai pembuktian diri. Terlihat bodoh dengan pemikiran itu? Seperti itu akan mengusik pikirannya saja!

"Yah--perasaan suka. Aku susah menjelaskannya, hehehe,"

Bagiku, mungkin itu sudah sangat jelas.

"Aku ingin apa ya,"

Si gadis es krim mengalihkan perhatiannya, dan menengadah menatap langit-langit. Damian menarik wajahnya menjauh, matanya tak melepaskan si gadis es krim. Memperhatikan setiap gerak terkecil dari si gadis es krim. Semua tindakan salah tingkahnya, semua sikap malu-malunya, dan mungkin ini aneh, tapi Damian menyukainya. Menyukai setiap perubahan ekspresi dari si gadis es krim. Bagaimana perubahan sikap gadis itu karenanya, dan bagaimana reaksi yang diterima gadis itu oleh kata-katanya. Bagi Damian, ini seperti puzzle yang mulai bisa disusunnya sedikit demi sedikit. Menemukan hal-halbaru setiap kepingan-kepingan itu disatukan. Dan ini menyenangkan. Salahkah dia karena menikmatinya?

"Aku ingin Damian saja!" dan gadis itu tersenyum, menatap langsung pada wajah Damian. Dan kembali, senyum angkuh itu tercipta, mempertegas setiap rahangnya.

Damian melepaskan tangannya dari pegangan si gadis es krim, dan menjauh beberapa senti, memutar tubuhnya dan berlutut di depan gadis itu, membiarkan posisi tubuhnya sendiri lebih tinggi dari si gadis es krim. Damian menunduk, mengunci pandangan si gadis es krim, sementara tangannya mengunci gerakan-gerakan gadis itu pada dinding. Ini pernah terjadi sebelumnya, tepat dibawah Big Ben pada pertengahan musim panas lalu. Tapi Damian tidak sedang seceroboh waktu itu, kali ini dia lebih bisa mengontrol dirinya. Dan disitulah dia, berlutut dihadapan si gadis es krim, menundukan kepalanya beberapa senti di ataswajah gadis itu, dan senyum angkuh masih terlukis diwajahnya. Wangi wafel itu kembali tercium, sedikit memabukan untuk Damian. Dan itu, tak wajar!

"Kenapa tak kau coba untuk memilikiku kalau begitu?" bisikan itu terdengar jelas, dan Damian, masih menataptajam pada mata abu-abu milik sigadis es krim.

Kau itu masokis, Damian! Dan untuk itupun, kau tak akan peduli.

Label:

Souvenir from Miami (Emmy's side)

Sebuah penyangkalan tanpa sadar membuat gadis ini tidak menyadari perasaannya sendiri. Ia sendiri yang menyangkal bahkan tanpa Emmy sadari. Gadis itu tersenyum lebar kepada pemuda di hadapannya. Wajah kaku nya itu entah kenapa selalu bisa membuat gadis ini merasakan suatu perasaan yang bervariasi. Rasanya ia ingin menyentuhkan tangannya ke rambut itu, seperti yang biasa di lakukan oleh Damian kepadanya. Ia juga ingin menyentuh pipinya, kulitnya, hidungnya seperti yang pernah Damian lakukan kepadanya. Di hari itu. Dihari yang sama dengan ketika Damian membuat Emmy bertindak lepas kontrol. Memaksa Damian mencium nya dan ketika Damian benar-benar menciumnya, Emmy malah ketakutan dan melepaskan diri dari ciuman Damian. Ia ingat benar kata-kata Damian setelah itu.

"That's why i said you're not ready,"


"Menurutmu?"

Pertanyaan Emmy yang di jawab dengan pertanyaan juga. Emmy sedikit memanyunkan bibirnya, merasa sedikit kesal dengan Damian yang nampaknya susah sekali menjawab pertanyaan Emmy. Padahal tadi Emmy sudah bersusah payah memikirkan dan merasakan bagaimana perasaannya terhadap Damian. Dan pemuda itu malah balik bertanya, membuat Emmy harus berfikir lagi untuk mendapatkan suatu jawaban. Emmy bermaksud tidak menjawab pertanyaan itu dan akan balik nanya kepada Damian hingga ia dapat jawabannya. Tapi seperti nya Damian juga suka dengan Emmy, paling tidak ia tidak membenci Emmy. Karena, tidak mungkin Damian memberikan Emmy gelang dan jepitan rambut kepada Emmy jika ia tidak suka. Wajahnya memang terlihat dingin, tetapi dari awal ia bertemu dengan Damian ia sudah tahu bahwa Damian orang yang baik.

Dari pertama kali Damian menepuk kepala Emmy di Diagon Alley waktu itu. Masih ingat? Tentu saja, itu adalah pertama kali ia merasa bahwa ada orang lain yang bisa memanjakan dirinya hanya dengan satu tepukan pelan dan lembut di kepalanya.


"Urusan keluarga. Dan ya, berjualan, tapi bukan barang. Keluarga Harcourt mengembangkan tekhnologi terbaru dalam dunia sihir."

"Ooooh--"

Bibirnya membentuk suatu bulatan dan ia ber-ooh kecil. Emmy menikmati setiap sentuhan dari tangan Damian yang sedang sibuk bermain dengan rambut coklat panjangnya. Ia tak bisa menyembunyikan senyum senangnya ketika Damian melakukan hal itu pada rambutnya. Emmy tidak merasa keberatan sama sekali, justru ia suka ketika ada seseorang yang menyentuh rambutnya. Ia merasa bahwa ia sedang di sayang dan di manja saat itu. Emmy mendengarkan dengan senyuman ketika Damian berkata bahwa jepitan perak yang tersemat di rambut Emmy adalah milik kenalannya. Dan ia balik bertanya apakah Emmy tidak menyukai pemberiannya. Gadis kecil itu menggeleng cepat, membuat tangan hangat Damian menyentuh pipi nya. "Aku suka," gumamnya kecil. Entah kenapa ia merasa malu pada saat mengatakan hal itu. Seperti bukan dirinya saja.

Wajah Damian mendekat dan gadis ini rasanya ingin memalingkan wajahnya karena suatu alasan. Suatu alasan yang sedari tadi di sangkal oleh gadis ini. Lagipula bagaimana ia bisa memalingkan wajahnya apabila mata Damian seakan mengunci mata Emmy. Ia tak bisa menoleh karena tangan Damian kini malah lebih menyusup kedalam rambut panjangnya. Wajahnya mendekat dan matanya fokus ke dalam mata Emmy. Sekali lagi, sama seperti saat itu, ia merasa wajahnya memerah dan tubuh nya lemas. "Aku lupa mengucapkan selamat ulang tahun padamu. Kau mau hadiah?" Hadiah?

"Kau bisa meminta apapun yang kau mau."

Untuk berfikir saja Emmy tak bisa.

"Tapi sebelumnya, aku ingin tahu bagaimana perasaan sukamu padaku."

Aaaaaaaaaaaa! Emmy rasanya ingin berteriak kencang sekali. Otaknya serasa kosong dan ia tak bisa memikirkan apa-apa sedari tadi selain satu adegan itu. Satu adegan yang tak mungkin bisa ia lupakan, bahkan rasa di bibirnya masih terasa. Tangan Emmy terangkat dan menyentuh tangan Damian yang sedang bermain di rambutnya. Mata Emmy tak bisa lepas dari pandangan Damian dan jantung nya berdebar-debar. Ia merasa sesak nafas lagi dan lagi-lagi ada perasaan aneh yang hendak meledak di dalam dadanya. Emmy bingung! Dan Damian menyuruhnya untuk berfikir. Huwaaaa!

"Aku--"

Terdiam, Emmy tersenyum canggung. Ia tak yakin untuk mengungkapkan perasaannya kepada Damian.

"Yah--perasaan suka. Aku susah menjelaskannya, hehehe," Emmy tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan satu nya yang sedang bebas. Tangan lainnya masih memegang tangan Damian yang kini ia turunkan dari rambutnya. Ia suka Damian bermain dengan rambutnya, hanya saja itu membuat Emmy tidak bisa berfikir apa-apa. "Aku ingin apa ya," gumam nya pelan sambil melirik langit-langit sekolah, seakan-akan ia sedang berfikir dan berharap sebuah ide muncul dari langit-langit. Tapi sebenarnya Emmy sedang mengalihkan tatapan dari Damian. Wajahnya sudah memerah sekarang dan juga panas. Ia tidak mau kelepasan lagi dan malah meminta yang aneh-aneh kepada Damian. Tiba-tiba ia tersenyum lebar dan langsung menatap Damian dengan senyuman girangnya.

"Aku ingin Damian saja!"

Jawaban spontan yang belum sempat di saring oleh otaknya.